IDULFITRI SEBAGAI PROSES TRANSFORMASI
IDULFITRI SEBAGAI PROSES TRANSFORMASI
Noor Aliyah, S.Ag | Guru PAI SMP Muhammadiyah Sempor
Genap satu bulan umat Islam di Indonesia bahkan di dunia menunaikan ibadah puasa Ramadan, menahan rasa lapar, dan dahaga, dan segala hal yang membatalkannya. Kini, hari Raya yang ditunggu telah tiba, hari Raya Idulfitri 1445 Hijriah sudah di depan mata dan alhamdulillah dapat dirayakan secara bersamaan oleh Muhammmadiyah dan Pemerintah. Miliaran umat Islam sedunia merayakan hari istimewa tersebut dengan cara berbeda. Sukacita Idulfitri sudah menggema di semua ruang publik, terutama pasar dan pusat perbelanjaan. Sudah seharusnya Idulfitri kita sambut dan rayakan dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan serta penuh rasa syukur. Karena Idulfitri adalah ’’wisudanya” hamba setelah menjalani proses puasa selama sebulan penuh.
Makna Idulfitri dan ke-Indonesiaan
Hari raya Idulfitri merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah puasa. Idulfitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri yaitu manusia yang bertaqwa. Kata Id berdasar dari akar kata ‘aada – ya’uudu yang artinya kembali sedangkan fitri bisa berarti buka puasa untuk makan dan bisa berarti suci. Adapun fitri yang berarti buka puasa berdasarkan akar kata ifthar (sighat mashdar dari aftharo – yufthiru) dan berdasar hadis Rasulullah SAW yang artinya :”Dari Anas bin Malik: Tak sekali pun Nabi Muhammad SAW pergi (untuk shalat) pada hari raya Idulfitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya.” Dalam Riwayat lain: “Nabi SAW. Makan kurma dalam jumlah ganjil.” (HR Bukhari). Dengan demikian, makna Idulfitri berdasarkan uraian di atas adalah hari raya dimana umat Islam untuk kembali berbuka atau waktunya berbuka dan haram berpuasa.
Dalam konteks tradisi masyarakat Indonesia, menurut Drs.H. Hajriyanto Y. Thohari, M.A(PP Muhammadiyah), Idulfitri yang seharusnya merupakan “id ashshagiir” atau hari raya kecil (small festival) pada praktiknya menjadi ‘id al kabiir atau hari raya besar (big festival). Hari Raya Idulfitri menjadi hari raya yang paling umum, semua masyarakat menikmati prosesnya. Paling ramai, karena tidak ada pemerintahan yang lebih sibuk dibanding pemerintahan Indonesia mengatur para pemudik.
Dan menjadi hari raya yang paling nasionalis, karena dari sabang sampai merauke semua merayakan.
Belum ada hari Raya yang mengalahkan Idulfitri dan merupakan hari Raya yang paling simbolik, semua orang, agama atau aliran bisa mengambil makna dari simbol-simbol hari Raya Idulfitri .Tak heran jika mudik ke kampung halaman menjadi euforia tersendiri. Tidak hanya itu, berbagai pakaian baru serta beraneka ragam makanan dan minuman mulai dipersiapkan.
Silaturahmi Hadirkan Kebahagiaan
Silaturahmi adalah sebuah kata yang sudah sering digunakan. Berasal dari dua kata, yaitu silah yang artinya tali atau hubungan dan rahim yang artinya kasih sayang. Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya ’Ulumuddin mengatakan bahwa esensi silaturahmi bukan bertemu secara fisik, tetapi idkholus surur ala qolbil mukmin (menghadirkan kebahagiaan kepada orang lain). Istilah silaturahmi ini sudah sering dipakai untuk saling mengunjungi keluarga, relasi, tetangga, serta teman yang dekat maupun jauh. Di negara Arab tidak ada model silaturrahmi ketika Idulfitri seperti di Indonesia. Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mencontohkan secara khusus untuk saling mengunjungi saat Idulfitri. Nabi saw hanya memberikan contoh dengan selalu berangkat dan pulang shalat Id melalui dua jalan yang berbeda agar bisa bertemu banyak orang yang berbeda untuk bersilaturahmi.
Alangkah indah jika kita menghadirkan kebahagiaan kepada orang lain (idkholus surur ala qolbil mukmin) dengan saling memaafkan di hari Fitri ini. Baik dengan cara silaturrahmi secara langsung maupun melalui kemajuan teknologi secara online. Masih banyak cara yang bisa kita lakukan untuk tetap bisa bersilaturrahmi. Terbatasnya ruang dan waktu tak membatasi dan menyurutkan kita merefleksikan momen Idulfitri dengan sikap yang bijak dan bertanggung jawab. Belajar membumikan prinsip silaturrahmi dalam lingkup yang lebih luas dan komprehensif.
Momentum Transformasi
Idulfitri (kembali ke kesejatian/fitrah) sangat berbeda dengan Idul Qoryah (kembali ke kampung halaman), baik secara harfiah maupun maknawiyahnya. Idulfitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri, yaitu manusia yang bertakwa. Konsep Idulfitri (kembali ke fitrah) juga berkaitan erat dengan self-controlling (menahan diri) dari perbuatan yang tercela dan merugikan orang lain. Jangan sampai kita kehilangan ruh Idulfitri sebagai hari penyucian diri dari sikap tak terpuji dan hanya mendapatkan semangat Idul Qoryah (pulang kampung)
Esensi Idulfitri itu bukan di kampung halaman, akan tetapi di mana pun tempatnya selagi kita benar-benar menghayati makna fitri (kesejatian).
Karena itu, mudik ke kesejatian jauh lebih penting. Apa artinya kita bisa mudik ke kampung halaman, sementara pada saat yang bersamaan jiwa dan hati kita tidak sedang mudik ke kesucian. Idulfitri hakekatnya adalah meraih kebahagiaan dalam kemenangan. Menikmati proses menjadi insan yang muttaqiin yang mengedepankan kepentingan umat diatas kepentingan pribadi. Menjadikan agama menjadi sebuah solusi bagi masalah global. Merayakan Idulfitri akan lebih bermakna apabila diiringi solidaritas kemanusiaan yang utuh. Semangat solidaritas akan memberikan energi berlipat yang membebaskan manusia dari penderitaan.
Hemat saya, pada momen Hari Raya Idulfitri ini, semoga umat Islam Indonesia benar-benar mampu memaknai Idulfitri secara spiritual, bukan hanya ritualnya semata, sehingga apa yang disebut dengan kembali ke fitrah (kesejatian) itu mampu mendatangkan kesalehan sosial pasca Idulfitri. Manifestasi kesalehan tanda kita kembali fitri adalah jika kita mampu membuat perubahan untuk diri sendiri pasca Ramadhan yang berdampak juga pada nilai sosial di masyarakat. Selamat berlebaran, jangan menyerah dan jangan terserah, mari rayakan dengan menebar kebaikan dan kerja-kerja kemanusiaan.
Minal Aidin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan Batin. Taqabbbalallahu Minna wa Minkum.
Semanding, 09 April 2024 bertepatan dengan 30 Ramadhan 1445 H
Leave a Reply