TERDIDIK DAN TERPELAJAR
TERDIDIK DAN TERPELAJAR
Pada masa sekarang, globalisasai tidak bisa dihindari, akan tetapi adanya percepatan perkembangan zaman itulah yang harus diterima dengan cara memfilter apa yang seharusnya dipilih untuk maslahah (kebaikan) bersama. Kita tak bisa serta merta melarang anak-anak kita untuk bermain-main dengan gadgetnya. Kita pun tak bisa menolak ketika anak memohon untuk di belikan HP dengan tehnologi yang mutakhir sebagai media pembelajaran daring. Karena Android tak lagi memjadi barang mewah, bahkan mereka yang sedang menanam padi di sawah juga mengantongi HP entah buat komonikasi atau sekedar selfi dan ngeksis.
Bahkan ketika kita bertanya cita-cita generasi Z, banyak diantara mereka yang bercita-cita menjadi Youtuber. Salahkah cita-cita mereka? Tentu saja tidak. Banyak diantara mereka yamg saben hari menikmati berbagai konten youtube, sehingga mindset yang terbentuk adalah bisa menghasilkan uang yang banyak dengan cara yang happy. Tantangannya adalah seberapa besar perhatian dan pendampingan orangtua bahkan sekolah mampu mengarahkan arus cita-cita generasi Z.
Lalu, apakah kita sebagai orangtua maupun stakeholder yang menangani pendidikan sudah menyiapkan progam atau kurikulum yang mampu menjawab persoalan yang dihadapai generasi muda saat ini. Kata Kahlil Gibran penyair asal Lebanon dalam salah satu puisinya mengatakan, “Anakmu bukan milikmu”. Kita boleh menyayanginya, tapi bukan berarti kita bisa memaksakan pemikiran kita kepada mereka, karena kita adalah busur yang berkewajibkan melesatkan potensi mereka jauh kedepan, untuk menjumpai zamannya. Kita boleh menyerupai mereka tapi jangan membuat mereka menyerupai kita karena waktu terus berjalan kedepan bukan mundur kebelakang.
Mendidik adalah bukan mengajar. Kurang didik juga berbeda dengan kurang ajar . Mendidik adalah memproses orang menjadi baik, tapi mengajar adalah memproses orang menjadi pintar (The Ethos of Sakura, hal 79).Belakangan ini banyak lembaga pendidikan yang tidak menjalankan fungsinya secara maksimal. Pendidikan lebih banyak menjadi tempat untuk mengasah kepandaian di banding mengasah hati nurani dan menjadikan seseorang berakhlak mulia. Sehingga tidak mengherankan jika kategori “cumlaude adalah yang ber IPK diatas 3,5 dalam waktu yang singkat.Yang menjadi kebanggaan adalah ketika anak lulus dengan nilai tertinggi tanpa mempertimbangkan pengembangan karakter dan akhlak mulia.
Dalam dunia pekerjaan yang diterima lebih banyak yang nilai ijazahnya diatas 3,5 sementara yang nilanya dibawah 3 tak dapat berperan. Jika ini yang terjadi maka negara kita yang dibutuhkan adalah orang terpelajar, bukan terdidik. Padahal berapa banyak orang terpelajar yang justru membuat sebuah institusi terpuruk bahkan kolaps. Terdidik adalah syarat utama mengarungi kehidupan, sedangkan no dua adalah terpelajar. Mendidik butuh waktu yang sangat panjang dengan kesabaran ekstra. Sedangkan menjadikan orang terpelajar bisa ditempuh dengan jalan pintas. Tak perlu repot-repot kuliah bertahun-tahun untuk mendapatkan selembar ijazah. Tapi mendidik orang mempunyai akhlaqul karimah membutuhkan waktu seumur. Mendidik siswa-siswi untuk bertanggung jawab terhadap kebesihan kelasnya butuh setiap hari mengingatkan. Butuh tenaga lebih untuk menanamkan sikap disiplin pada mereka, meskipun materi pelajaran dalam kompetensi dasar yang harus kita sampaikan tertunda.
Apakah kita sebagai orang tua sekaligus pendidik mengharapkan manusia-manusia yang terdidik atau sekedar terpelajar. Atau menyeimbangkan keduanya? Atau bahkan lembaga sekolah kita apakah sudah membuat kurikulum yang menyiapkan output peserta didiknya menjadi anak yang terdidik sekaligus terpelajar? Yang pandai membaca al qur an dan mampu menjadi imam shalat dengan bacaan tartil sekaligus mau memungut sampat pada tiap sudut ruang yang dilaluinya. Yang rela berbagi uang jajannya demi melihat temannya yang tak bisa jajan. Dan masih banyak lagi karakter yang harus dikembangkan dalam mendidik generasi “Khairu ummah (sebaik-baik umat)”.
Sekolah berprestasi bukan sekedar meraih berpuluh piala yang di jejer rapi dalam lemari etalase yang semakin penuh. Tapi yang mampu menyeimbangkan pikir dan dzikir(akal dan hati).
Wallahu a’lam bishawab,
Semanding, 14 Febuari 2021
Leave a Reply